Novel ini mengisahkan tentang salah satu budaya masyarakat di desa Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sang penulis novel menceritakan dua insan yang berbeda kasta saling jatuh cinta. Daro, pemuda kampung yang tak jelas kerjaannya, yang hanya tamat SD, dan bukan anak Karaeng/ keturunan bangsawan jatuh cinta dan menjalin kasih dengan seorang perempuan anak Karaeng. Gadis itu adalah Karaeng Asmi. Kita biasanya dengar istilah "cinta ditolak dukun bertindak" tapi dari novel ini kita bisa dapat istilah baru yakni "sebelum ada rasa, dukun bertindak memang" hehehe ini karena rasa cinta yang menggebuh dan kurang rasa percaya menjalin kasih dengan Karaeng Asmi, Daro terlebih dahulu main dukun-dukunan. Hehe dasar koplak. Namun akhirnya cinta keduanya berubah jadi dasyat dan menyatu tanpa syarat.
Sayang seribu sayang, kisah cinta pasti punya banyak tantangan apa lagi yang beginian kaya dalam novel ini. Karena budaya masyarakat yg menganggap cinta keduanya ini tabu alias dilarang adat, maka keduanyapun main umpet-umpetan dalam menjalin kasih. Menjalin cinta yang penuh resiko, akibatnya setelah diketahui umpet-umpetan itu, Daro dan sekeluarga diusir dari kampung halaman oleh keluarga Karaeng yang lebih disegani masyarakat ketimbang imam masjid (ayah Daro) hanya karena salah mencintai seseorang, seorang perempuan anak Karaeng, yang memiliki kelas sosial lebih tinggi dlm masyarakat.

"Daro, sebenarnya saya tidak ingin memilih untuk kehilangan kamu. Tapi itu harus terjadi karena kita tidak mampu merubah keadaan. Kita terlalu lemah di depan adat. Walaupun terkadang ia tidak adil dan manusiawi. Setidaknya terhadap cinta kita. Bagiku, adat ini, kekaraengan ini yg diagungkan banyak orang, sangat kejam terhadap diriku. Terhadap kita berdua".