SEORANG Kartono Mohamad bisa dicirikan dalam tiga hal. Ia keras kepala, berani melawan arus, dan lantang menyuarakan kebenaran. Berulang kali ia bentrok melawan tirani mayoritas. Dari kontroversi mengundang Magic Johnson yang mengidap HIV/AIDS ke Indonesia, perdebatan legalitas aborsi, profesi kedokteran, hingga urusan rokok.

Ada ketimpangan antara dokter dan pasiennya. Hal yang lumrah ini punya akibat yang tak disengaja: sang dokter didefinisikan sebagai subjek yang dengan sendirinya “mengetahui” pasiennya sebagai objek yang “diketahui”. Dalam keadaan seperti itu, dilupakan bahwa proses diagnostik adalah sebuah proses bersama, bahkan dialogis.

Kartono memang sejak kecil pintar, tapi membaca adalah tanda merasa belum pintar. Membaca adalah mencari. Dan menulis adalah mengajak pembaca mencari, memosisikan pembaca sebagai rekan pencarian.

Dalam hidupnya, Kartono seorang yang egalitarian: sebagai ayah, saudara, teman sekerja, dan dokter. Tulisannya menunjukkan watak itu. Tulisannya mengajak kita aktif dan kritis berpikir. Gayanya yang tenang, tak berteriak, menunjukkan ia yakin bahwa pembacanya tidak harus dicekoki.