Image of babad ngalor ngidul

Text

babad ngalor ngidul



“SABTU, 23 Oktober 2010, lava dari kawah Merapi mulai mengalir ke Kali Gendol. Di Dusun Kinahrejo tidak ada orang yang memperhatikan gejala alam itu. Kecuali Bu Pujo yang tampak gelisah. Suaminya malah keluar rumah karena Bu Pujo mulai ngobrol ngalor-ngidul lagi. Hanya si perempuan waskita ini yang masih bisa (berbicara) bahasa purba itu. Sesudah kematiannya dalam letusan, siapa lagi akan ngomong ngalor-ngidul?”
Ngalor-ngidul, kata dalam bahasa Jawa ini kini lazim kita beri makna tutur yang tak tersambung, ngaco belo, pertanda ketakwarasan akal. Namun, dalam Babad Ngalor-Ngidul ini, penulis memperlihatkan ngalor-ngidul mengandung makna yang berbeda, yaitu suatu percakapan mesra yang purba antara yang di utara (lor) dan yang di selatan (kidul). Dalam konteks masyarakat Jogjakarta yang telah turun-temurun hidup dalam rengkuhan Laut Selatan dan Gunung Merapi, ngalorngidul, tak lain adalah suatu hubungan timbal balik, saling bergantung tanpa henti antara geleduk awan panas di utara dan gelora ombak laut di selatan.

Melanjutkan dongengnya, Beringin Putih, penulis buku ini membawa kita kembali ke masa sepuluh tahun silam, sekira Mei 2006, ketika gempa menimpa selatan Jogja sampai saat-saat terakhir Si Juru Kunci Merapi. Lindu dan letusan itu kita namakan “bencana alam”. Padahal mereka tidak lain dari percakapan lama yang terlupakan: ngalor-ngidul.


Ketersediaan

3033959.8 Eli b9ATersedia

Informasi Detail

Judul Seri
-
No. Panggil
959.8 Eli b
Penerbit KPG : Jakarta.,
Deskripsi Fisik
viii + 214 hlm; 13.5x20 cm
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
978-602-424-036-3
Klasifikasi
959.8
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
cet. 1
Subjek
Info Detail Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaDetail XMLKutip ini